Untuk menghimpun data sebanyak mungkin, platform media sosial seperti Facebook dan Instagram turut serta mempekerjakan “Attention Engineers”. “Attention Engineers” bekerja dengan strategi psikologis yang sama seperti di kasino–kasino di Las Vegas, mereka merancang produk yang Anda gunakan (Facebook dan Instagram) agar membuat Anda lebih kecanduan. Lebih banyak waktu yang Anda habiskan pada platform mereka, lebih banyak data yang terhimpun dari Anda. Secara terus–menerus mereka memberikan reaksi atau respon positif secara cepat sehingga Anda merasa senang dan ingin menghabiskan lebih banyak waktu lagi. Contoh respon positif tersebut dapat berbentuk seperti Like, newsfeed dan pesan dari teman.
Secara bersamaan algoritma menganalisis segala perilaku Anda. Algoritma menghimpun data tersebut dari kata kunci yang Anda ketik pada mesin pencarian, gambar–gambar yang Anda beri tanda Like, orang–orang yang Anda cari, dan seberapa sering Anda melihat profil atau gambar tertentu. Semua data tersebut dijual oleh perusahaan kepada pihak ketiga. Begitulah perusahaan media sosial menghasilkan uang.
Mungkin Anda bertanya–tanya apa yang buruk dengan hal ini. Data tersebut dianalisis untuk mengetahui pola perilaku dan kepentingan Anda supaya perusahaan bisa memengaruhi dan memanipulasi Anda. Proses ini sangat cerdik dan orang tidak menyadari terjadinya proses ini. Dengan cara ini massa dimanipulasi oleh perusahaan, pemerintah atau institusi lain.
Tapi terdapat dampak negatif juga bagi Anda. Banyak orang menggunakan media sosial seperti Instagram untuk bersenang–senang. “Berapa pengikut (follower) yang saya miliki?” “Berapa orang yang menyukai gambar saya?” Ketika tidak ada Like baru maka orang–orang menjadi resah dan gugup karena mereka perlu mendapatkan pengakuan dengan banyaknya Like yang diberikan orang lain. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk membuat foto menggunakan filter yang lebih menarik sebelum mengunggahnya di Instagram supaya bisa mendapatkan lebih banyak Like. Dengan cara ini, kemungkinan Like dan pengikut akan semakin meningkat. Hal ini merupakan siklus yang terus menerus berulang.
Seperti teman saya Karina, secara terus–menerus memeriksa telepon genggamnya ketika ada pemberitahuan baru. Apabila mereka tidak mendapatkan pemberitahuan baru, mereka menjadi resah, gugup bahkan depresi. Penelitian menunjukkan bahwa perilaku ini memiliki banyak konsekuensi di level berbeda. Tidak hanya efek negatif pada mata tetapi juga pada otak Anda sehingga dapat mengubah cara Anda dalam mengolah informasi dan membuat keputusan. Contohnya banyak orang tidak bisa memusatkan perhatian dalam waktu lama pada suatu pekerjaan karena mereka sering melihat layar ponsel untuk mengecek kabar terbaru. Perilaku ini berbahaya tidak hanya untuk orang dewasa tetapi juga anak dan remaja karena tubuh dan otak mereka belum berkembang secara lengkap. Penggunaan ponsel secara intensif secara nyata dapat memberikan efek negatif terhadap perkembangan mereka.
Bahaya lain dari Instagram adalah dari gambar–gambar yang ditampilkan kepada masyarakat. Sebelum orang–orang mengunggah foto di Instagram, foto–foto tersebut bisa saja sudah dimodifikasi sehingga hal itu menciptakan ilusi tentang kehidupan yang menyenangkan, hebat dan menantang, bahkan mungkin tragis. Biasanya orang–orang sering membandingkan kehidupan mereka dengan orang lain. Mereka bertanya–tanya mengapa dirinya tidak ada kehidupan yang menyenangkan seperti yang dimiliki orang lain. Oleh sebab itu orang tersebut menjadi sedih, kesepian dan tidak bahagia. Pada satu titik, hal ini bisa berubah menjadi penyakit serius seperti depresi dan gangguan perilaku makan (eating disorder).
Instagram adalah salah satu platform media sosial untuk menciptakan ilusi. Sebagian besar gambar di Instagram tidak realistis. Di Instagram Anda menciptakan citra baru diri Anda dengan menentukan apa yang bisa dan tidak bisa dilihat orang lain. Saya yakin jarang ada orang yang membagikan foto mereka yang sedang menangis. Jadi karena itulah kita berpikir bahwa orang lain selalu gembira dan bahagia, meskipun hal itu tidak selalu benar. Instagram dan platform media sosial lainnya menciptakan citra sebuah dunia di mana Anda dapat melarikan diri ketika kehidupan nyata Anda terasa berat. Tetapi semua itu tidak nyata.
Setelah Karina dan saya berpisah, saya pergi ke stasiun bus. Sambil menunggu bus, saya memperhatikan sekelompok orang yang memeriksa ponsel mereka masing–masing. Alih–alih mengobrol satu sama lain, mereka semua tenggelam pada dunia ponsel mereka. Bukankah itu hal yang ironis bahwa kita menyebut platform tersebut “media sosial”, sementara hal itu membuat kita menjadi kurang sosial dengan orang-orang di sekitar kita, khususnya yang berarti bagi kita?
Dari seberang jalan, saya juga memperhatikan dua orang anak yang sedang bermain sepak bola sambil tertawa. Pemandangan seperti itu seharusnya membuat kita semua tersadar bahwa hidup kita terjadi di dunia nyata. Persahabatan sejati diciptakan di dunia nyata. Namun apakah orang–orang di stasiun dimana saya menunggu bus juga ingat akan hal itu?